senyuman itu adalah dunia maka tersenyumlah
semoga hari anda akan selalu menyenangkan

Senin, 01 Juli 2013

Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia

Sebuah Potret Pasca Reformasi

Indrasari Tjandraningsih

SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.

Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.

Kategorisasi Serikat

Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata ‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan kerentanan tersebut.

Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI.

Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi.

Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh.

Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan.

Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh.

Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru.

Makna Kebebasan Berserikat

Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu kategorinya.

Sebagaimana disinggung oleh Herawati, banyaknya jumlah serikat buruh tidak berarti bertambahnya jumlah buruh yang diorganisasi dan menjadi anggota serikat buruh. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada paruh pertama sewindu kebebasan berserikat, serikat-serikat buruh yang muncul masih terfokus pada sektor industri manufaktur dan memiliki kecenderungan ‘memancing di kolam yang sama,’ dengan merekrut anggota yang sudah menjadi anggota serikat buruh lain (lihat juga Tjandraningsih 2002). Mereka tidak mengorganisasikan buruh yang belum mengenal serikat buruh atau yang belum menjadi anggota serikat buruh. Dalam paruh kedua perkembangan, pengorganisasian buruh meluas ke sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, transportasi, pos, perkebunan, dan lain-lain yang membawa implikasi, penyebaran kesadaran berorganisasi kepada kaum pekerja dan buruh yang sebelumnya tidak terorganisasi. Penyebab kedua, tidak bertambahnya jumlah anggota serikat buruh adalah makin berkurangnya minat buruh untuk berserikat karena bekerjanya rezim fleksibilitas.

Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan SB/SP (Tornquist 2007).

Konteks menuju negara demokratis menjadi salah satu elemen tata pergaulan internasional. Di dalam tata pergaulan tersebut, Indonesia, sebagai negara berkembang, sangat membutuhkan pengakuan internasional dan modal internasional. Ratifikasi konvensi dan diundangkannya kebebasan berserikat, pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan pencitraan internasional bahwa Indonesia sedang berubah. Untuk itu, harus ada simbol perubahan yang diterima masyarakat internasional, dalam hal ini, UU kebebasan berserikat merupakan salah satu simbol tersebut.

Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi: manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan kesempatan yang ada .

Tantangan Serikat

Bagaimanapun, sejarah mencatat, dalam dunia keserikatburuhan di Indonesia, pernah muncul berbagai serikat buruh dengan keragaman cirinya. Ini bisa dilihat dalam catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga tahun 2004. Pada kenyataannya, ada lebih banyak SB/SP di Indonesia, dengan berbagai alasan tidak mendaftarkan diri di Depnakertrans. Serikat-serikat yang tercatat ini terkonsentrasi pada beberapa sektor padat karya seperti, tekstil, garmen dan kulit, kimia-energi-pertambangan, jasa keuangan dan pariwisata, kayu dan kehutanan, perkebunan, logam dan mesin, serta makanan-minuman-tembakau. Meskipun demikian, kebanyakan serikat mengklaim mempunyai basis di hampir semua sektor.

Dalam kaitannya dengan organisasi internasional, sebagian serikat buruh di Indonesia, berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, afiliasi tersebut secara umum belum menjadi strategi serikat buruh di Indonesia. KSPSI, misalnya, sebagai konfederasi terbesar karena sejarahnya sebagai serikat buruh kuning, hingga kini tidak berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, telah mendeklarasikan diri sebagai serikat independen pascareformasi. Ini berbeda dengan KSPI yang berafiliasi dengan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) dan SBSI berafiliasi dengan World Congress of Labour. Kedua serikat internasional tersebut kini bersatu menggalang kekuatan dan mengubah namanya menjadi International Confederation of Trade Union.

Di samping kedua serikat internasional tersebut, serikat buruh di Indonesia juga berafiliasi dengan serikat internasional lainnya seperti, Global Union Federation (GUF). Dari seluruh populasi federasi serikat buruh, terdapat 19 serikat yang berafiliasi dengan anggota GUF: Union Network International: 1 serikat (ASPEK); Public Service International: 2 serikat ; International Union for Food: 2 serikat (SBNI dan FSPM); International Transport Federation: 6 serikat (SP KA, KPI, STA SBSI, SP TPK, IAK Garuda Indonesia, Trade union of JICT); International Textile Garment Leather Wear Federation: 1 serikat (SPN); International Metal Federation: 1 serikat (SPMI); International Federation for Journalist: 1 serikat (AJI); International Federation of Building and Wood Workers: 3 serikat (FSP Kahutindo, F-KUI, SP BPU); Education International: 2 serikat (PGRI, FESDIKARI SBSI).

Di lingkungan ketiga konfederasi, informasi mengenai afiliasi internasional dan kebijakan serta program yang muncul dari afiliasi tersebut, cenderung terpusat di konfederasi dan federasi. Sementara, di federasi-federasi yang baru informasi mengenai afiliasi tersebut diketahui para anggotanya hingga tingkat unit kerja. Hal itu merupakan konsekuensi dari struktur organisasi federasi non-SPSI, yang lebih sederhana dan langsung menjangkau serikat di unit kerja, dibandingkan dengan struktur organisasi SPSI yang bertingkat banyak (lihat tulisan Herawati). Faktor lain, adalah kebijakan federasi internasional, yang ingin langsung menurunkan programnya di tingkat basis sebagai kekuatan pokok serikat. Kesenjangan hubungan di dalam struktur organisasi serikat telah menjadi perhatian beberapa serikat dan donor internasional, setelah mengetahui lemahnya kualitas dan kapasitas basis meskipun, berbagai program pendidikan keserikatburuhan sudah dilaksanakan. Kesenjangan tesebut menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi kerjasama dengan serikat yaitu, orientasi kerjasama yang lebih kepada serikat di tingkat unit kerja daripada dengan serikat pusat. Program langsung dengan basis diyakini akan lebih efektif dalam upaya penguatan serikat pekerja/buruh.

Situasi krisis hingga kini menyajikan berbagai tantangan baru yang lebih rumit bagi serikat buruh. Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguran yang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasar tenaga kerja dan fleksibilitas produksi (Tjandraningsih & Nugroho 2007, akan terbit). Rezim ini dengan sangat efektif menggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseran status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidak mengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitas hubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangka pendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematis bagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitas telah menciptakan kondisi dimana bekerja dan berserikat tak bisa lagi dipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikat buruh.

Tantangan eksternal lain datang dari strategi kapitalisme global, yang memunculkan persaingan ketat antarnegara dalam memperebutkan investasi dan dari kebijakan nasional menyangkut desentralisasi atau otonomi daerah. Tantangan-tantangan tersebut membawa implikasi, rendahnya posisi tawar serikat terhadap negara dan modal serta, masih kecilnya pengaruh serta keterlibatan serikat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah ketenagakerjaan dan pasar kerja.

Pada saat yang sama serikat buruh juga menghadapi tantangan internal klasik, yang mencakup masalah-masalah organisasi dan sumber daya manusia. Karakteristik tenaga kerja yang telah berubah, juga memerlukan pemikiran dan rumusan baru untuk bisa diorganisasi. Kelemahan organisasional dan sumber daya manusia, merupakan kondisi objektif yang masih terus harus dihadapi SB/SP. Hal ini sangat terkait dengan sejarah SB/SP semasa Orde Baru dan karakteristik objektif angkatan kerja di Indonesia. Angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendah—lebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD —yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja. Selain menyangkut tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah makin terpisahnya mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh karena bekerjanya secara simultan berbagai faktor, yang terutama didominasi oleh persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi.

Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.

sumber

http://indoprogress.blogspot.com/2007/08/serikat-buruhserikat-pekerja-di.html

KASUS PERSELISIHAN ANTARA PEKERJA /BURUH

TEORI : Isu menyangkut masalah perburuhan di Indonesia seakan tidak pernah ada habisnya. Berbagai kasus yang menyangkut perburuhan hampir setiap saat menghiasi media nasional kita. Fenomena terakhir adalah mengenai demo buruh yang berlangsung di beberapa daerah seperti Bekasi, Serang, dan Cikampek. Berbagai aksi yang dilakukan oleh kaum buruh tersebut bahkan membuat banyak warga lain mengalami kerugian karena aksi-aksi tersebut dilakukan di ruang publik sehingga mengganggu akses masyarakat pada fasilitas publik dan menggangu ketenangan masyarakat dari aksi tersebut. Dengan berbagai efek yang ditimbulkan dari aksi buruh itu, Masalah aksi buruh ini dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu mengenai pemutusan hubungan kerja dan upaya alternatif untuk mencegah dan menanggulanginya. CONTOH KASUS PERSELISIHAN BURUH DENGAN PEKERJA

Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa yang berlokasi di Jl Jembatan III Ruko 36 Q, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, datang sekitar pukul 12.00 WIB. Sebelum ditemui Kasudin Nakertrans Jakarta Utara, mereka menggelar orasi yang diwarnai aneka macam poster yang mengecam usaha perusahaan menahan THR mereka. Padahal THR merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1994 tentang THR. Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) PT Megariamas Sentosa, Selasa siang ‘menyerbu’ Kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Jakarta Utara di Jl Plumpang Raya, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Mereka menuntut pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka karena mangkir memberikan tunjangan hari raya (THR).

Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya ratusan buruh ini juga mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak sewenang-wenang pada karyawan. Bahkan ada beberapa buruh yang diberhentikan pihak perusahaan karena dinilai terlalu vokal. Akibatnya, kasus konflik antar buruh dan manajemen dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Karena itu, pihak manajemen mengancam tidak akan memberikan THR kepada pekerjanya. Dalam demo tersebut para buruh menuntut perusahaan untuk mendapatkan THR sesuai dengan peraturan yang berlaku. Para demonstras mengatakan “ jangan dikarenakan ada konflik internal kami tidak mendapatkan THR, karena setahu mereka perusahaan garmen tersebut tidak merugi, bahkan sebaliknya”. Sekedar diketahui ratusan buruh perusahaan garmen dengan memproduksi pakaian dalam merek Sorella, Pieree Cardine, Felahcy, dan Young Heart untuk ekspor itu telah berdiri sejak 1989 ini mempekerjakan sekitar 800 karyawan yang mayoritas perempuan.

Mengetahui hal tersebut, ratusan buruh PT Megariamas Sentosa mengadu ke kantor Sudin Nakertrans Jakarta Utara. Setelah dua jam menggelar orasi di depan halaman Sudin Nakertrans Jakarta Utara, bahkan hendak memaksa masuk ke dalam kantor. Akhirnya perwakilan buruh diterima oleh Kasudin Nakertrans, Saut Tambunan di ruang rapat kantornya. Dalam peryataannya di depan para pendemo, Sahut Tambunan berjanji akan menampung aspirasi para pengunjuk rasa dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. "Pasti kami akan bantu, dan kami siap untuk menjadi fasilitator untuk menyelesaikan masalah ini," tutur Sahut. Selain itu, Sahut juga akan memanggil pengusaha agar mau memberikan THR karena itu sudah kewajiban. “Kalau memang perusahaan tersebut mengaku merugi, pihak manajemen wajib melaporkan ke pemerintah dengan bukti konkret,” kata Saut Tambunan kepada beritajakarta.com usai menggelar pertemuan dengan para perwakilan demonstrasi. Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya komunikasi yang baik antara pekerja dengan pengusaha. Sebagai seorang pengusaha mereka harus memenuhi kewajiban para pekerjanya agar tidak terjadi perselisihan. Karena para pekerja sudah berusaha menjalankan kewajibannya untuk bekerja memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut. Maka perusahaan juga berkewajiban memberikan upah dan tunjangan kepada pekerja dan berlaku adil dan bijaksana untuk tidak mempermainkan rakyat kecil.

ANALISIS :

Buruh adalah tulang punggung sektor swasta, yang banyak memberikan sumbangsih terbesar dalam pergerakan roda ekonomi Indonesia. Tetapi Buruh, masih dianggap sepele atau masih dianggap masih seperti budak-budak dizaman kolonial Belanda. Cukup dibayar maka pekerjaan selesai. Adu nasib diantara hari karena nasib buruh ini akan diperjuangkan bertepatan dengan hari lahirnya. Tonggak meningkatkan taraf hidup dengan sistem pengupahan minimum regional masih banyak yang belum diterapkan, termasuk disektor jasa atau pelayanan.Mereka digaji hanya berdasarkan suka-suka kantong tuannya.

Penyelesaian konflik antar buruh dengan majikan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah; c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Terhadap hal tersebut disebutkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa perselisihan hubungan industrial ini dimungkinkan untuk dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Berikut di bawah ini penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan: 1. Penyelesaian melalui perundingan bipartit, yaitu perundingan dua pihak antarapengusaha atau gabungan pengusaha dan buruh atau serikat buruh. Bila dalam perundingan bipartit mencapai kata sepakat mengenai penyelesaiannya maka para pihak membuat perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat, namun apabila dalam perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka salah satu pihak mendaftarkan kepada pejabat Dinas Tenaga Kerja setempat yang kemudian para pihak yang berselisih akan ditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui jalan mediasi, konsiliasi atau arbitrase; 2. Penyelesaian melalui mediasi, yaitu penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai perselisihan hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam mediasi bilamana para pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian bersama yang kemudian akan didaftarkan di pengadilan hubungan industrial, namun bilamana tidak ditemukan kata sepakat maka mediator akan mengeluarkan anjuran secara tertulis, bila anjuran diterima maka para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial, dan apabila para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui pengadilan yang sama; 3. Penyelesaian melalui konsiliasi, yaitu penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator (yang dalam ketentuan undang-undang PHI adalah pegawai perantara swasta bukan dari Depnaker sebagaimana mediasi) dalam menyelesaikan perselisihan kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam hal terjadi kesepakatan maka akan dituangkan kedalam perjanjian bersama dan akan didaftarkan ke pengadilan terkait, namun bila tidak ada kata sepakat maka akan diberi anjuran yang boleh diterima ataupun ditolak, dan terhadap penolakan dari para pihak ataupun salah satu pihak maka dapat diajukan tuntutan kepada pihak lain melalui pengadilan hubungan industrial; 4. Penyelesaian melalui arbitrase, yaitu penyelesaian perselisihan di luar pengadilan hubungan industrial atas perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh dalam suatu perusahaan yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis yang berisi bahwa para pihak sepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada para arbiter. Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan mengikat para pihak yang berselisih, dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh menteri; 5. Penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri berdasarkan hukum acara perdata. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir terkait perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh, namun tidah terhadap perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja karena masih diperbolehkan upaya hukum ketingkat kasasi bagi para pihak yang tidak puas atas keputusan PHI, serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung bilamana terdapat bukti-bukti baru yang ditemukan oleh salah satu pihak yang berselisih.

SUDUT PANDANG PEMERINTAH DALAM MENGATASI MASALAH TENAGA KERJA DI INDONESIA :

1. Meningkatkan mutu tenaga kerja

Pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu tenaga kerja dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan bagi tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kemampuan dan produktivitas tenaga kerja. Dengan adanya pelatihan kerja diharapkan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja luar negeri.

2. Memperluas kesempatan kerja

Pemerintah berupaya untuk memperluas kesempatan kerja dengan cara berikut ini, mendirikan industri atau pabrik yang bersifat padat karya, mendorong usaha-usaha kecil menengah, mengintensifkan pekerjaan di daerah pedesaan, meningkatkan investasi (penanaman modal) asing.

3. Memperluas pemerataan lapangan kerja

Pemerintah mengoptimalkan informasi pemberitahuan lowongan kerja kepada para pencari kerja melalui pasar kerja. Dengan cara ini diharapkan pencari kerja mudah mendapatkan informasi lowongan pekerjaan.

4. Memperbaiki sistem pengupahan

Pemerintah harus memerhatikan penghasilan yang layak bagi pekerja. Untuk itu pemerintah menetapkan upah minimum regional (UMR). Dengan penetapan upah minimum berarti pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.

SUDUT PANDANG PERUSAHAAN DALAM KESEJAHTERAAN PEKERJA :

Disatu sisi pun Perusahaan swasta juga harus pro aktif dalam kesejahteraan buruh dengan menjadikan pekerja sebagai nilai asset yang tak ternilai tetapi terjamin. Karena dengan menjadikan karyawan sebagai nilai investasi maka harmonisasi suasana kerja, suasana perusahaan akan terjamin dengan tidak keluar masuknya pekerja diperusahaan tersebut. Penerapan system outsourching punharus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tidak serta merta melimpahkan status karyawan maka sistem pengupahan pun telat dilaksanakan, lembur tak terbayarkan serta kesehatan pun tak tergantikan. Biar bagaimanapun pekerja adalah asset perusahaan yang sangat berharga dan tak ternilai harganya. Oleh karenanya para pengusaha harus berlaku adil dan bijaksana tidak semena-mena memperlakukan para buruh yang telah bekerja untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, dan tepat waktu dalam memberikan upah yang sesuai dan tunjangan serta memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik kepada buruh tempat dimana mereka bekerja.

SUDUT PANDANG BURUH :

Buruh juga harus mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan konflik yang dilakukan oleh perusahaan yang telah menganggap mereka semena-mena. Dalam melakukan demo buruh harusnya memperhatikan hal-hal yang tidak merugikan orang lain. Karena masyarakat publik merasa dirugikan dan terganggu aktifitasnya akibat adanya demo yang dilakukan para buruh. Buruh juga jangan melakukan demo secara anarkis yang dapat merugikan orang lain bahkan merugikan diri mereka msing-masing.

Sumber :

http://generasikertasmaya.blogspot.com http://ekonomi.kompasiana.com http://tanyahukum.com http://kata2bijakpolitik.blogspot.com/2013/03/kasus-perselisihan-antara-pekerjaburuh.html