senyuman itu adalah dunia maka tersenyumlah
semoga hari anda akan selalu menyenangkan

Senin, 01 Juli 2013

Serikat Buruh/Serikat Pekerja di Indonesia

Sebuah Potret Pasca Reformasi

Indrasari Tjandraningsih

SECARA legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia, dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun 1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Dirintis sejak pemerintahan B.J. Habibie yang singkat (1998—1999) melalui ratifikasi terhadap konvensi ILO no. 87 mengenai kebebasan berserikat, dua tahun kemudian, di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (2000—2001), era serikat buruh tunggal yang dikontrol negara diakhiri pada tahun 2000 dengan diundangkannya kebebasan berserikat melalui Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. Undang-undang ini mengatur pembentukan, keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran dan hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh.

Sejak saat itu, diawali dengan pecahnya FSPSI menjadi FSPSI dan FSPSI Reformasi, mulai bermunculan serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) baru. Sejak tahun 2000, pertumbuhan SB/SP baru tersebut bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan mendaftarkan dirinya ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun, seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.

Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.

Kategorisasi Serikat

Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata ‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan kerentanan tersebut.

Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI. Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda dari SPSI.

Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI. Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi.

Pengelompokan serikat tersebut tidak mencerminkan pengelompokan orientasi dan ideologi serikat, sebagai ciri kedua. Secara umum SB/SP di Indonesia, menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja. Hal itu merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang secara sistematis menghapus orientasi politik serikat/gerakan buruh dan menanamkan orientasi ekonomi melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP), yang diakui merupakan sebuah konsep yang ideal dan menjadi koridor gerak serikat pekerja/serikat buruh.

Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian (lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat pekerja/serikat buruh menjadi rentan.

Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut, terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997; Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya tantangan bagi pengorganisasian buruh.

Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang. Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul serikat-serikat buruh baru.

Makna Kebebasan Berserikat

Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu kategorinya.

Sebagaimana disinggung oleh Herawati, banyaknya jumlah serikat buruh tidak berarti bertambahnya jumlah buruh yang diorganisasi dan menjadi anggota serikat buruh. Hal itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada paruh pertama sewindu kebebasan berserikat, serikat-serikat buruh yang muncul masih terfokus pada sektor industri manufaktur dan memiliki kecenderungan ‘memancing di kolam yang sama,’ dengan merekrut anggota yang sudah menjadi anggota serikat buruh lain (lihat juga Tjandraningsih 2002). Mereka tidak mengorganisasikan buruh yang belum mengenal serikat buruh atau yang belum menjadi anggota serikat buruh. Dalam paruh kedua perkembangan, pengorganisasian buruh meluas ke sektor-sektor jasa perdagangan, keuangan, transportasi, pos, perkebunan, dan lain-lain yang membawa implikasi, penyebaran kesadaran berorganisasi kepada kaum pekerja dan buruh yang sebelumnya tidak terorganisasi. Penyebab kedua, tidak bertambahnya jumlah anggota serikat buruh adalah makin berkurangnya minat buruh untuk berserikat karena bekerjanya rezim fleksibilitas.

Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan SB/SP (Tornquist 2007).

Konteks menuju negara demokratis menjadi salah satu elemen tata pergaulan internasional. Di dalam tata pergaulan tersebut, Indonesia, sebagai negara berkembang, sangat membutuhkan pengakuan internasional dan modal internasional. Ratifikasi konvensi dan diundangkannya kebebasan berserikat, pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan pencitraan internasional bahwa Indonesia sedang berubah. Untuk itu, harus ada simbol perubahan yang diterima masyarakat internasional, dalam hal ini, UU kebebasan berserikat merupakan salah satu simbol tersebut.

Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi: manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan kesempatan yang ada .

Tantangan Serikat

Bagaimanapun, sejarah mencatat, dalam dunia keserikatburuhan di Indonesia, pernah muncul berbagai serikat buruh dengan keragaman cirinya. Ini bisa dilihat dalam catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi hingga tahun 2004. Pada kenyataannya, ada lebih banyak SB/SP di Indonesia, dengan berbagai alasan tidak mendaftarkan diri di Depnakertrans. Serikat-serikat yang tercatat ini terkonsentrasi pada beberapa sektor padat karya seperti, tekstil, garmen dan kulit, kimia-energi-pertambangan, jasa keuangan dan pariwisata, kayu dan kehutanan, perkebunan, logam dan mesin, serta makanan-minuman-tembakau. Meskipun demikian, kebanyakan serikat mengklaim mempunyai basis di hampir semua sektor.

Dalam kaitannya dengan organisasi internasional, sebagian serikat buruh di Indonesia, berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, afiliasi tersebut secara umum belum menjadi strategi serikat buruh di Indonesia. KSPSI, misalnya, sebagai konfederasi terbesar karena sejarahnya sebagai serikat buruh kuning, hingga kini tidak berafiliasi dengan serikat buruh internasional meskipun, telah mendeklarasikan diri sebagai serikat independen pascareformasi. Ini berbeda dengan KSPI yang berafiliasi dengan ICFTU (International Confederation of Free Trade Unions) dan SBSI berafiliasi dengan World Congress of Labour. Kedua serikat internasional tersebut kini bersatu menggalang kekuatan dan mengubah namanya menjadi International Confederation of Trade Union.

Di samping kedua serikat internasional tersebut, serikat buruh di Indonesia juga berafiliasi dengan serikat internasional lainnya seperti, Global Union Federation (GUF). Dari seluruh populasi federasi serikat buruh, terdapat 19 serikat yang berafiliasi dengan anggota GUF: Union Network International: 1 serikat (ASPEK); Public Service International: 2 serikat ; International Union for Food: 2 serikat (SBNI dan FSPM); International Transport Federation: 6 serikat (SP KA, KPI, STA SBSI, SP TPK, IAK Garuda Indonesia, Trade union of JICT); International Textile Garment Leather Wear Federation: 1 serikat (SPN); International Metal Federation: 1 serikat (SPMI); International Federation for Journalist: 1 serikat (AJI); International Federation of Building and Wood Workers: 3 serikat (FSP Kahutindo, F-KUI, SP BPU); Education International: 2 serikat (PGRI, FESDIKARI SBSI).

Di lingkungan ketiga konfederasi, informasi mengenai afiliasi internasional dan kebijakan serta program yang muncul dari afiliasi tersebut, cenderung terpusat di konfederasi dan federasi. Sementara, di federasi-federasi yang baru informasi mengenai afiliasi tersebut diketahui para anggotanya hingga tingkat unit kerja. Hal itu merupakan konsekuensi dari struktur organisasi federasi non-SPSI, yang lebih sederhana dan langsung menjangkau serikat di unit kerja, dibandingkan dengan struktur organisasi SPSI yang bertingkat banyak (lihat tulisan Herawati). Faktor lain, adalah kebijakan federasi internasional, yang ingin langsung menurunkan programnya di tingkat basis sebagai kekuatan pokok serikat. Kesenjangan hubungan di dalam struktur organisasi serikat telah menjadi perhatian beberapa serikat dan donor internasional, setelah mengetahui lemahnya kualitas dan kapasitas basis meskipun, berbagai program pendidikan keserikatburuhan sudah dilaksanakan. Kesenjangan tesebut menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi kerjasama dengan serikat yaitu, orientasi kerjasama yang lebih kepada serikat di tingkat unit kerja daripada dengan serikat pusat. Program langsung dengan basis diyakini akan lebih efektif dalam upaya penguatan serikat pekerja/buruh.

Situasi krisis hingga kini menyajikan berbagai tantangan baru yang lebih rumit bagi serikat buruh. Tantangan eksternal yang dominan mencakup tingkat pengangguran yang tinggi (11 persen) dan bekerjanya rezim dan praktik fleksibilitas pasar tenaga kerja dan fleksibilitas produksi (Tjandraningsih & Nugroho 2007, akan terbit). Rezim ini dengan sangat efektif menggerogoti kekuatan basis anggota serikat buruh, melalui pergeseran status hubungan kerja tetap menjadi tidak tetap. Padahal, serikat buruh tidak mengenal keanggotaan buruh tidak tetap. Selain itu, wujud fleksibilitas hubungan kerja yang muncul dalam bentuk kerja kontrak atau PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), mengikatkan hubungan kerja jangka pendek dan tanpa kepastian kerja. Situasi ini menciptakan kondisi dilematis bagi buruh, antara memilih berserikat atau tetap bekerja. Rezim fleksibilitas telah menciptakan kondisi dimana bekerja dan berserikat tak bisa lagi dipersatukan. Kondisi ini secara langsung menghapus keberadaan serikat buruh.

Tantangan eksternal lain datang dari strategi kapitalisme global, yang memunculkan persaingan ketat antarnegara dalam memperebutkan investasi dan dari kebijakan nasional menyangkut desentralisasi atau otonomi daerah. Tantangan-tantangan tersebut membawa implikasi, rendahnya posisi tawar serikat terhadap negara dan modal serta, masih kecilnya pengaruh serta keterlibatan serikat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah ketenagakerjaan dan pasar kerja.

Pada saat yang sama serikat buruh juga menghadapi tantangan internal klasik, yang mencakup masalah-masalah organisasi dan sumber daya manusia. Karakteristik tenaga kerja yang telah berubah, juga memerlukan pemikiran dan rumusan baru untuk bisa diorganisasi. Kelemahan organisasional dan sumber daya manusia, merupakan kondisi objektif yang masih terus harus dihadapi SB/SP. Hal ini sangat terkait dengan sejarah SB/SP semasa Orde Baru dan karakteristik objektif angkatan kerja di Indonesia. Angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendah—lebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD —yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja. Selain menyangkut tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah makin terpisahnya mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh karena bekerjanya secara simultan berbagai faktor, yang terutama didominasi oleh persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja sehingga menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi.

Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.

sumber

http://indoprogress.blogspot.com/2007/08/serikat-buruhserikat-pekerja-di.html

KASUS PERSELISIHAN ANTARA PEKERJA /BURUH

TEORI : Isu menyangkut masalah perburuhan di Indonesia seakan tidak pernah ada habisnya. Berbagai kasus yang menyangkut perburuhan hampir setiap saat menghiasi media nasional kita. Fenomena terakhir adalah mengenai demo buruh yang berlangsung di beberapa daerah seperti Bekasi, Serang, dan Cikampek. Berbagai aksi yang dilakukan oleh kaum buruh tersebut bahkan membuat banyak warga lain mengalami kerugian karena aksi-aksi tersebut dilakukan di ruang publik sehingga mengganggu akses masyarakat pada fasilitas publik dan menggangu ketenangan masyarakat dari aksi tersebut. Dengan berbagai efek yang ditimbulkan dari aksi buruh itu, Masalah aksi buruh ini dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu mengenai pemutusan hubungan kerja dan upaya alternatif untuk mencegah dan menanggulanginya. CONTOH KASUS PERSELISIHAN BURUH DENGAN PEKERJA

Ratusan buruh PT Megariamas Sentosa yang berlokasi di Jl Jembatan III Ruko 36 Q, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, datang sekitar pukul 12.00 WIB. Sebelum ditemui Kasudin Nakertrans Jakarta Utara, mereka menggelar orasi yang diwarnai aneka macam poster yang mengecam usaha perusahaan menahan THR mereka. Padahal THR merupakan kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1994 tentang THR. Sekitar 500 buruh yang tergabung dalam Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu-Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI) PT Megariamas Sentosa, Selasa siang ‘menyerbu’ Kantor Sudin Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Jakarta Utara di Jl Plumpang Raya, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Mereka menuntut pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang mempekerjakan mereka karena mangkir memberikan tunjangan hari raya (THR).

Demonstrasi ke Kantor Nakertrans bukan yang pertama, sebelumnya ratusan buruh ini juga mengadukan nasibnya karena perusahan bertindak sewenang-wenang pada karyawan. Bahkan ada beberapa buruh yang diberhentikan pihak perusahaan karena dinilai terlalu vokal. Akibatnya, kasus konflik antar buruh dan manajemen dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Karena itu, pihak manajemen mengancam tidak akan memberikan THR kepada pekerjanya. Dalam demo tersebut para buruh menuntut perusahaan untuk mendapatkan THR sesuai dengan peraturan yang berlaku. Para demonstras mengatakan “ jangan dikarenakan ada konflik internal kami tidak mendapatkan THR, karena setahu mereka perusahaan garmen tersebut tidak merugi, bahkan sebaliknya”. Sekedar diketahui ratusan buruh perusahaan garmen dengan memproduksi pakaian dalam merek Sorella, Pieree Cardine, Felahcy, dan Young Heart untuk ekspor itu telah berdiri sejak 1989 ini mempekerjakan sekitar 800 karyawan yang mayoritas perempuan.

Mengetahui hal tersebut, ratusan buruh PT Megariamas Sentosa mengadu ke kantor Sudin Nakertrans Jakarta Utara. Setelah dua jam menggelar orasi di depan halaman Sudin Nakertrans Jakarta Utara, bahkan hendak memaksa masuk ke dalam kantor. Akhirnya perwakilan buruh diterima oleh Kasudin Nakertrans, Saut Tambunan di ruang rapat kantornya. Dalam peryataannya di depan para pendemo, Sahut Tambunan berjanji akan menampung aspirasi para pengunjuk rasa dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. "Pasti kami akan bantu, dan kami siap untuk menjadi fasilitator untuk menyelesaikan masalah ini," tutur Sahut. Selain itu, Sahut juga akan memanggil pengusaha agar mau memberikan THR karena itu sudah kewajiban. “Kalau memang perusahaan tersebut mengaku merugi, pihak manajemen wajib melaporkan ke pemerintah dengan bukti konkret,” kata Saut Tambunan kepada beritajakarta.com usai menggelar pertemuan dengan para perwakilan demonstrasi. Berdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa, pentingnya komunikasi yang baik antara pekerja dengan pengusaha. Sebagai seorang pengusaha mereka harus memenuhi kewajiban para pekerjanya agar tidak terjadi perselisihan. Karena para pekerja sudah berusaha menjalankan kewajibannya untuk bekerja memenuhi kebutuhan perusahaan tersebut. Maka perusahaan juga berkewajiban memberikan upah dan tunjangan kepada pekerja dan berlaku adil dan bijaksana untuk tidak mempermainkan rakyat kecil.

ANALISIS :

Buruh adalah tulang punggung sektor swasta, yang banyak memberikan sumbangsih terbesar dalam pergerakan roda ekonomi Indonesia. Tetapi Buruh, masih dianggap sepele atau masih dianggap masih seperti budak-budak dizaman kolonial Belanda. Cukup dibayar maka pekerjaan selesai. Adu nasib diantara hari karena nasib buruh ini akan diperjuangkan bertepatan dengan hari lahirnya. Tonggak meningkatkan taraf hidup dengan sistem pengupahan minimum regional masih banyak yang belum diterapkan, termasuk disektor jasa atau pelayanan.Mereka digaji hanya berdasarkan suka-suka kantong tuannya.

Penyelesaian konflik antar buruh dengan majikan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; b. bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah; c. bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Terhadap hal tersebut disebutkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa perselisihan hubungan industrial ini dimungkinkan untuk dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Berikut di bawah ini penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan: 1. Penyelesaian melalui perundingan bipartit, yaitu perundingan dua pihak antarapengusaha atau gabungan pengusaha dan buruh atau serikat buruh. Bila dalam perundingan bipartit mencapai kata sepakat mengenai penyelesaiannya maka para pihak membuat perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat, namun apabila dalam perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka salah satu pihak mendaftarkan kepada pejabat Dinas Tenaga Kerja setempat yang kemudian para pihak yang berselisih akan ditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui jalan mediasi, konsiliasi atau arbitrase; 2. Penyelesaian melalui mediasi, yaitu penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai perselisihan hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam mediasi bilamana para pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian bersama yang kemudian akan didaftarkan di pengadilan hubungan industrial, namun bilamana tidak ditemukan kata sepakat maka mediator akan mengeluarkan anjuran secara tertulis, bila anjuran diterima maka para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial, dan apabila para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui pengadilan yang sama; 3. Penyelesaian melalui konsiliasi, yaitu penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator (yang dalam ketentuan undang-undang PHI adalah pegawai perantara swasta bukan dari Depnaker sebagaimana mediasi) dalam menyelesaikan perselisihan kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam hal terjadi kesepakatan maka akan dituangkan kedalam perjanjian bersama dan akan didaftarkan ke pengadilan terkait, namun bila tidak ada kata sepakat maka akan diberi anjuran yang boleh diterima ataupun ditolak, dan terhadap penolakan dari para pihak ataupun salah satu pihak maka dapat diajukan tuntutan kepada pihak lain melalui pengadilan hubungan industrial; 4. Penyelesaian melalui arbitrase, yaitu penyelesaian perselisihan di luar pengadilan hubungan industrial atas perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh dalam suatu perusahaan yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis yang berisi bahwa para pihak sepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada para arbiter. Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan mengikat para pihak yang berselisih, dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh menteri; 5. Penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri berdasarkan hukum acara perdata. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir terkait perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh, namun tidah terhadap perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja karena masih diperbolehkan upaya hukum ketingkat kasasi bagi para pihak yang tidak puas atas keputusan PHI, serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung bilamana terdapat bukti-bukti baru yang ditemukan oleh salah satu pihak yang berselisih.

SUDUT PANDANG PEMERINTAH DALAM MENGATASI MASALAH TENAGA KERJA DI INDONESIA :

1. Meningkatkan mutu tenaga kerja

Pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu tenaga kerja dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan bagi tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kemampuan dan produktivitas tenaga kerja. Dengan adanya pelatihan kerja diharapkan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja luar negeri.

2. Memperluas kesempatan kerja

Pemerintah berupaya untuk memperluas kesempatan kerja dengan cara berikut ini, mendirikan industri atau pabrik yang bersifat padat karya, mendorong usaha-usaha kecil menengah, mengintensifkan pekerjaan di daerah pedesaan, meningkatkan investasi (penanaman modal) asing.

3. Memperluas pemerataan lapangan kerja

Pemerintah mengoptimalkan informasi pemberitahuan lowongan kerja kepada para pencari kerja melalui pasar kerja. Dengan cara ini diharapkan pencari kerja mudah mendapatkan informasi lowongan pekerjaan.

4. Memperbaiki sistem pengupahan

Pemerintah harus memerhatikan penghasilan yang layak bagi pekerja. Untuk itu pemerintah menetapkan upah minimum regional (UMR). Dengan penetapan upah minimum berarti pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.

SUDUT PANDANG PERUSAHAAN DALAM KESEJAHTERAAN PEKERJA :

Disatu sisi pun Perusahaan swasta juga harus pro aktif dalam kesejahteraan buruh dengan menjadikan pekerja sebagai nilai asset yang tak ternilai tetapi terjamin. Karena dengan menjadikan karyawan sebagai nilai investasi maka harmonisasi suasana kerja, suasana perusahaan akan terjamin dengan tidak keluar masuknya pekerja diperusahaan tersebut. Penerapan system outsourching punharus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tidak serta merta melimpahkan status karyawan maka sistem pengupahan pun telat dilaksanakan, lembur tak terbayarkan serta kesehatan pun tak tergantikan. Biar bagaimanapun pekerja adalah asset perusahaan yang sangat berharga dan tak ternilai harganya. Oleh karenanya para pengusaha harus berlaku adil dan bijaksana tidak semena-mena memperlakukan para buruh yang telah bekerja untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, dan tepat waktu dalam memberikan upah yang sesuai dan tunjangan serta memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik kepada buruh tempat dimana mereka bekerja.

SUDUT PANDANG BURUH :

Buruh juga harus mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan konflik yang dilakukan oleh perusahaan yang telah menganggap mereka semena-mena. Dalam melakukan demo buruh harusnya memperhatikan hal-hal yang tidak merugikan orang lain. Karena masyarakat publik merasa dirugikan dan terganggu aktifitasnya akibat adanya demo yang dilakukan para buruh. Buruh juga jangan melakukan demo secara anarkis yang dapat merugikan orang lain bahkan merugikan diri mereka msing-masing.

Sumber :

http://generasikertasmaya.blogspot.com http://ekonomi.kompasiana.com http://tanyahukum.com http://kata2bijakpolitik.blogspot.com/2013/03/kasus-perselisihan-antara-pekerjaburuh.html

Jumat, 21 Juni 2013

PEMBERIAN UPAH DAN KESEJAHTERAAN BURUH

Pengertian Upah. - Upah merupakan salah satu rangsangan penting bagi para karyawan dalam suatu perusahaan. Hal ini tidaklah berarti bahwa tingkat upahlah yang merupakan pendorong utama, tingkat upah hanya merupakan dorongan utama hingga pada tarif dimana upah itu belum mencukupi kebutuhan hidup para karyawan sepantasnya. Upah sebenarnya merupakan salah satu syarat perjanjian kerja yang diatur oleh pengusaha dan buruh atau karyawan serta pemerintah.

“Upah adalah jumlah keseluruhan yang ditetapkan sebagai pengganti jasa yang telah dikeluarkan oleh karyawan meliputi masa atau syarat-syarat tertentu.”

Dewan Penelitian Pengupahan Nasional memberikan definisi pengupahan sebagai berikut :

“Upah ialah suatu penerimaan kerja untuk berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi dinyatakan menurut suatu persetujuan Undang-undang dan Peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja.”

Dari pengertian diatas mengenai upah ini dapat diartikan bahwa upah merupakan penghargaan dari tenaga karyawan atau karyawan yang dimanifestasikan sebagai hasil produksi yang berwujud uang, atau suatu jasa yang dianggap sama dengan itu, tanpa suatu jaminan yang pasti dalam tiap-tiap menggu atau bulan.

Gaji sebenarnya juga upah, tetapi sudah pasti banyaknya dan waktunya. Artinya banyaknya upah yang diterima itu sudah pasti jumlahnya pada setiap waktu yang telah ditetapkan. Dalam hal waktu yang lazim digunakan di Indonesia adalah bulan. Gaji merupakan upah kerja yang dibayar dalam waktu yang ditetapkan. Sebenarnya bukan saja waktu yang ditetapkan, tetapi secara relatif banyaknya upah itu pun sudah pasti jumlahnya. Di Indonesia, gaji biasanya untuk pegawai negeri dan perusahaan-perusahaan besar. Jelasnya di sini bahwa perbedaan pokok antara gaji dan upah yaitu dalam jaminan ketepatan waktu dan kepastian banyaknya upah. Namun keduanya merupakan balas jasa yang diterima oleh para karyawan atau karyawan.

Sistem Upah.

Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mendistribusikan upah, dirumuskan empat sistem yang secara umum dapat diklarifikasikan sebagai berikut :

Sistem upah menurut banyaknya produksi.

Sistem upah menurut lamanya bekerja

Sistem upah menurut lamanya dinas.

Sistem upah menurut kebutuhan.

Berikut ini akan dijelaskan keempat macam sistem pengupahan tersebut :

1. Sistem upah menurut banyaknya produksi.

Upah menurut banyaknya produksi diberikan dapat mendorong karyawan untuk bekerja lebih giat dan berproduksi lebih banyak. Produksi yang dihasilakan dapat dihargai dengan perhitungan ongkosnya. Upah sebenarnya dapat dicari dengan menggunakan standar normal yang membandingkan kebutuhan pokok dengan hasil produksi. Secara teoritis sistem upah menurut produksi ini akan diisi oleh tenaga-tenaga yang berbakat dan sebaliknya orang-orang tua akan merasa tidak kerasan.

2. Sistem upah menurut lamanya dinas.

Sistem upah semacam ini akan mendorong untuk lebih setia dan loyal terhadap perusahaan dan lembaga kerja. sistem ini sangat menguntungkan bagi yang lanjut usia dan juga orang-orang muda yang didorong untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan. Hal ini disebabkan adanya harapan bila sudah tua akan lebih mendapat perhatian. Jadi upah ini kan memberikan perasaan aman kepada karyawan, disamping itu sistem upah ini kurang bisa memotivasi karyawan.

3. Sistem upah menurut lamanya kerja.

Upah menurut lamanya bekerja disebut pula upah menurut waktu, misalnya bulanan. Sistem ini berdasarkan anggapan bahwa produktivitas kerja itu sama untuk waktu yang kerja yang sama, alasan-alasan yang lain adalah sistem ini menimbulkan ketentraman karena upah sudah dapat dihitung, terlepas dari kelambatan bahan untuk bekerja, kerusakan alat, sakit dan sebagainya.

4. Sistem upah menurut kebutuhan.

Upah yang diberikan menurut besarnya kebutuhan karyawan beserta keluarganya disebut upah menurut kebutuhan. Seandainya semua kebutuhan itu dipenuhi, maka upah itu akan mempersamakan standar hidup semua orang.

Salah satu kelemahan dari sistem ini adalah kurang mendorong inisiatif kerja, sehingga sama halnya dengan sistem upah menurut lamanya kerja dan lamanya dinas. Kebaikan akan memberikan rasa aman karena nasib karyawan ditanggung oleh perusahaan.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Upah.

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi besarnya upah yang diterima oleh para karyawan, yaitu :

Penawaran dan permintaan karyawan.

Organisasi buruh.

Kemampuan untuk membayar.

Produktivitas.

Biaya hidup.

Peraturan pemerintah.

Keadilan dan Kelayakan Dalam Pengupahan.

Didalam memberikan upah/gaji perlu juga memperhatikan prinsip keadilan. Keadilan bukan berarti bahwa segala sesuatu mesti dibagi sama rata. Keadilan harus dihubungkan antara pengorbanan dengan penghasilan. Semakin tinggi pengorbanan semakin tinggi penghasilan yang diharapkan. Karena itu pertama yang harus dinilai adalah pengorbanan yang diperlukan oleh suatu jabatan, pengorbanan dari suatu jabatan dipertunjukan dari persyaratan-persyaratan (spesifikasi) yang harus dipenuhi oleh orang yang memangku jabatan tersebut. Semakin tinggi persyaratan yang diperlukan, semakin tinggi pula penghasilan yang diharapkan. Penghasilan ini ditunjukan dari upah yang diterima.

Rasa keadilan ini sangat diperhatikan oleh para karyawan, mereka tidak hanya memperhatikan besarnya uang yang dibawa pulang, tetapi juga membandingkan dengan rekan yang lain. Disamping masalah keadilan, maka dalam pengupahan perlu diperhatikan unsur kelayakan. Kelayakan ini bisa dibandingkan dengan pengupahan pada perusahaan-perusahaan lain. Atau bisa juga dengan menggunakan peraturan pemerintah tentang upah minimum atau juga dengan menggunakan kebutuhan pokok minimum.

Dalam hubungannya dengan ketidak layakan dengan pengupahan apabila dibandingkan dengan perusahaan lain, ada dua macam ketidak layakan tersebut, yaitu :

Mengundang skala-skala upah yang lebih rendah dibandingkan dengan skala upah yang dibayarkan untuk skala pekerjaan yang sama dalam perusahaan lain.

Skala-skala upah dimana suatu pekerjaan tertentu menerima pembayaran yang kurang dari skala yang layak dibandingkan dengan skala-skala untuk jenis pekerjaan yang lain dalam perusahaan yang sama.

Pengertian Upah Menurut Para Ahli

Landasan Kebijaksanaan Pengupahan.

Dalam kebijaksanaan pengupahan tujuan utama yaitu kebijaksanaan yang mendasarkan upah dari sumbangan tenaga dan pikiran karyawan. Struktur upah/gaji menunjukan sistem yang formal mengenai skala-skala untuk tujuan tersebut. Sistem ini membedakan dalam pembayaran-pembayaran yang dianggap menunjukan perbedaan yang sama dalam bentuk-bentuk pekerjaan. Tambahan-tambahan produktivitas atau penyesuaian faktor-faktor perbaikan yang menghubungkan upah/gaji dengan dibuat menurut rata-rata kemajuan perusahaan. Kebijaksanaan pengupahan umumnya dibuat untuk :

Adanya pembayaran upah/gaji yang cukup untuk menjamin hidup berkeluarga dalam keadaan normal.

Mengadakan deferensiasi penghargaan pengupahan/penggajian dalam perbedaan skill, tanggungjawab, usaha dan kondisi kerja.

Mengadakan suatu pembinaan pengupahan/penggajian sesuai dengan peningkatan karya atau efisiensi kerja yang diberikan untuk mempertinggi daya hidup karyawan.

Mengadakan suatu pembinaan pengupahan/penggajian menurut stabilitas keuangan perusahaan.

SUMBER : Heidjachman Ranupandojo, Drs dan Suad Husnan, Drs, MBA, Op-Cit, Halaman 129. Manullang, Drs, Manajemen Personalia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1974, Halaman 163. Moekijat, Drs, Op-Cit, Halaman 130. Komaruddin, Drs, Op-Cit, Halaman 136.

PERUNDANG-UNDNAGAN KETENAGAKERJAAN (BAB 7)

Proses penegakan hukum bidang ketenagakerjaan selama ini dilakukan melalui upaya atau pendekatan persuasif-edukatif dengan mengedepankan sosialisasi serta informasi tentang peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Dalam tahapan awal, pemerintah memberdayakan para pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan dan sosialiasi kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja/buruh agar bisa menjalankan aturan-aturan ketenagakerjaan. Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan bersifat independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang mempunyai lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan baik di lingkungan pemerintah pusat, maupun di lingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib:

1. merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;

2. tidak menyalahgunakan kewenangannya.

Pengawas ketenagakerjaan selain bertugas melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan juga diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang:

1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenaga kerjaan;

5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

7. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan

Dalam perundangan-undangan ketenagakerjaanpun terdapat pokok-pokok mengenai wajib lapor ketenagakerjaan. Dimana setiap karyawan dalam suatu perusahaan diwajibkan melaporkan kejelasan mengenai pekerjaannya seperti yang tercantum dalam undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.

- JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Menurut Kenneth Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jendral International Security Association (ISSA), dalam kuliahnya pada Regional Trainning ISSA, seminar tanggal 16 dan 17 Juni 1980 di Jakarta, mengemukakan perumusan jaminan sosial sebagai berikut :

“Jaminan Sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa-peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan atau jaminan keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah upaya kebijaksanaan yang ditujukan kepada tenaga kerja, terutama yang berada dilingkungan perusahaan dalam hal penyelenggaraan, perlindungan dengan interaksi kerja yang saling menguntungkan kedua belah pihak (Tenaga kerja dan pengusaha). Dalam kamus populer “Pekerjaan sosial” istilah jaminan sosial tersebut disebut sebagai berikut :

“Jaminan Sosial adalah suatu program perlindungan yang diberikan oleh negara, masyarakat dan organisasi sosial kepada seseorang/individu yang menghadapi kesukaran-kesukaran dalam kehidupan dan penghidupannya, seperti penderita penyakit kronis, kecelakaan kerja dan sebagainya”.

Sedangkan pengertian yang diberikan oleh Imam Soepomo SH : Jaminan Sosial adalah pembayaran yang diterima oleh pihak buruh diluar kesalahanya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan (income security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar kehendaknya.

Pengertian jaminan sosial tenaga kerja dinyatakan dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1992, yaitu : Suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Keberadaan jaminan sosial tenaga kerja sebagai upaya perlindungan hidup tenaga kerja disuatu perusahaan besar manfaatnya, oleh karena itu sebagai langkah untuk menjamin hidup tenaga kerja, perusahaan sangat perlu memasukkan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang dikelolah oleh PT. JAMSOSTEK. Karena perusahaan yang memasukkan tenaga kerjanya dalam program Jamsostek adalah perusahaan yang terletak bijaksana pemikiranya dan telah bertindak :

1. Melindungi para buruhnya sedemikian rupa dalam menghadapi kecelakaan kerja yang mungkin saja terjadi, baik karena adanya mutakhir, maupun karena penempatan tenaga kerja pada proyek-proyek diluar daerah dalam rangka menunjang pembangunan.

2. Mendidik para buruhnya supaya berhemat/menabung yang dapat dinikmatinya apabila sewaktu-waktu terjadi suatu kejadian yang harus dihadapi buruh beserta keluarganya.

3. Melindungi perusahaan dari kerusakan kemungkinan berjumlah sangat besar, karena terjadinya musibah yang menimpa beberapa karyawan, dimana setiap kecelakaan atau musibah sama sekali tidak diharapkan.

Dasar Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja

UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK ini dikeluarkan berlandasarkan dasar-dasar hukum.

a. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya undang-undang pengawasan perburuhan tahun 1948 nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun 1951 Nomor 41).

c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok Mengenai tenaga kerja (lembaran Negara Tahun 1969 nomor 55 : Tambahan lembaran negara nomor 2912).

d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja (lembaran negara tahun 1970 nomor 1, tambahan lembaran negara nomor 2918).

e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan (Lembaran Negara tahun 1981 nomor 39, tambahan lembaran negara nomor 3201).

sumber http://hendar7.tripod.com/Jamsostek.htm http://www.hukumtenagakerja.com/pengawasan-dan-penyidikan-dalam-ketenagakerjaan/#more-117 [1] Sentanoe Kertonegoro, Jaminan Sosial dan Pelaksanaannya di Indonesia, Cet. I, Mutiara, Jakarta, hal. 29 [2] Ridwan Marpaung, Kamus Populer Pekerja Sosial, 1988, hal. 36, [3] Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, hal. 136 [4] Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Managemen Tenega Kerja, Bima Aksara Jakarta, 1987, hal. 9

Minggu, 21 April 2013

Gerakan Buruh Kian Mandiri

JAKARTA, KOMPAS.com - Konsolidasi gerakan ribuan buruh yang sangat terasa dalam setahun terakhir bukanlah tiba-tiba. Praktis sejak tahun 1999, buruh mulai mengiur di antara mereka untuk menunjang aksi mereka menuntut kesejahteraan yang lebih baik. Gerakan buruh kuat dari sisi keuangan.

Jangan pernah berprasangka gerakan buruh yang terkoordinasi baik dan kompak ini merupakan bagian dari politik praktis menjelang Pemilihan Umum 2014. Para elite serikat buruh harus menjaga soliditas gerakan buruh supaya aksi sosial ekonomi ini tidak terjebak politik praktis.

Demikian benang merah pendapat Ketua Majelis Pertimbangan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dan Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos secara terpisah, di Jakarta, Sabtu (1/12/2012).

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat ada 6 konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, 91 federasi serikat pekerja/serikat buruh, 437 serikat pekerja/serikat buruh tingkat perusahaan, dan 170 serikat pekerja/serikat buruh badan usaha milik negara. Buruh yang menjadi anggota serikat berjumlah 3.414.455 orang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus 2012, ada 118,04 juta angkatan kerja dengan pengangguran terbuka 7,2 juta orang. Sebanyak 44,16 juta orang (39,8 persen) bekerja di sektor formal dan 66,6 juta orang (60,1 persen) berada di sektor informal yang miskin perlindungan sosial dan kelangsungan pekerjaan.

Said Iqbal memastikan, perjuangan buruh tetap harus konstitusional. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) berideologi Pancasila dan menghormati UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam berunjuk rasa.

Gerakan buruh bisa kuat secara keuangan dengan kedisiplinan anggota mengiur, menambah jumlah anggota, dan memiliki landasan kerja yang jelas. Iqbal mencontohkan, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) memiliki anggota sedikitnya 60.000 orang saat berdiri 6 Februari 1999 dengan iuran Rp 60 juta per tahun dan kini sudah menjadi 170.000 anggota dengan iuran Rp 10 miliar per tahun.

”MPBI juga harus melakukan hal-hal seperti ini. Sisi keuangan harus kuat juga supaya gerakan kuat,” kata Iqbal.

Kekuatan gerakan buruh harus terus dijaga dengan membangun kepercayaan satu sama lain. Untuk itu, para elite MPBI perlu menyusun mekanisme penyelesaian masalah internal agar soliditas gerakan tetap terjaga.

Wakil Sekretaris FSPMI Jawa Timur Jamaludin menambahkan, buruh dapat mengerahkan massa hingga puluhan ribu orang dalam waktu singkat dan membiayai pergerakan mereka sendiri melalui iuran.

Jamaludin mengatakan, isu upah dan pengangkatan pekerja alih daya (outsourcing) menjadi karyawan tetap merupakan isu dasar yang merepresentasikan aspirasi buruh secara umum. Untuk merealisasikannya, serikat pekerja menilai, unjuk rasa merupakan langkah yang paling efektif.

”Kalau harus melalui pengadilan hubungan industrial, prosesnya lama dan kebanyakan dimenangi pengusaha. Lebih baik kami demo karena lebih didengar dan tuntutan dipenuhi,”ujar Jamaludin, Minggu.

Jamaludin mengakui, puluhan ribu buruh dapat dengan cepat turut serta dalam unjuk rasa seperti pada 19 November lalu. Setidaknya ada 60.000 buruh turun ke jalan menuntut penetapan upah minimum Rp 2,2 juta di Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Sidoarjo.

Menurut dia, aksi buruh pada 19 November itu butuh biaya Rp 500 juta untuk menyewa lebih dari 100 bus, 6 mobil untuk pengeras suara, membeli air mineral dan nasi bungkus, serta membuat spanduk dan poster. ”Aksi terbesar di Jatim selama ini hanya disiapkan dalam waktu delapan hari,” kata Jamal.

Dana untuk unjuk rasa, mogok kerja, dan konsolidasi diperoleh dari iuran anggota. Sebagai gambaran, FSPMI Jatim dengan anggota 15.000 buruh menyumbang iuran 2 persen dari upah setiap bulannya. ”Selain itu, ada iuran lagi untuk aksi yang besarnya Rp 15.000 per orang,” ujar Jamal.

Gimin dari serikat buruh di Sumatera Utara mengakui, dalam dua bulan terakhir, buruh di Sumut setidaknya telah 12 kali berunjuk rasa. Sekali unjuk rasa, mereka mengeluarkan Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta untuk sewa mobil bak terbuka dan pengeras suara serta biaya poster.

Menurut Gimin, dana itu mereka kumpulkan dari hasil saweran. Para buruh diimbau menyumbang tanpa mematok besaran uang. ”Kadang bebannya kami bagi per serikat pekerja sehingga ringan,” kata Gimin.

Untuk biaya konsumsi, serikat buruh hampir tak pernah mengeluarkan uang. Hal itu karena setiap buruh diimbau membawa bekal makanan selama berunjuk rasa. Tak jarang, mereka membeli makan di sela-sela unjuk rasa.

Tiga isu utama

Menurut Rekson, gerakan buruh dengan mudah menyatu karena sudah tidak memercayai pemerintah lagi. Buruh memutuskan turun ke jalan untuk menekan pemerintah agar menghapus kebijakan yang eksploitatif, seperti upah minimum rendah dan sistem kerja alih daya yang tak terkendali.

”Tidak ada kebijakan pemerintah yang adil bagi buruh tanpa tekanan dari buruh itu sendiri. Yang terjadi saat ini adalah pencapaian pertama gerakan buruh yang sangat rawan pecah sehingga stamina dan semangat berjuang harus terus dijaga,”tutur Rekson.

Ketiga isu yang menyatukan gerakan sosial ekonomi buruh ini adalah pelarangan jasa perantara pekerja alih daya, penghapusan praktik upah murah, dan penolakan wacana buruh menanggung iuran 2 persen dari total 5 persen upah dalam program jaminan kesehatan mulai 1 Januari 2014. (MHF/ILO/DEN/ETA/RAZ/OSA/HAM)

sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/03/08125540/Gerakan.Buruh.Kian.Mandiri

Membangunkan Hubungan Industrial Pancasila yang Sedang Tidur

Indonesia telah memiliki sejarah panjang hubungan industrial. Walau demikian, hingga saat ini begitu banyak permasalahan di bidang hubungan industrial itu yang masih terjadi dan menimbulkan perpecahan antara pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak lain. Tanpa adanya perbaikan pola hubungan industrial antara kedua pihak tersebut, tidak pernah terjadi kesamaan persepsi di dalam menyikapi masalah yang terjadi di antara mereka. Oleh karena itu, para pihak di dalam hubungan industrial harus melakukan upaya-upaya strategis untuk memperbaiki nasib dan pola hubungan mereka.

Upaya-upaya perbaikan tersebut sebagian besar berkaitan dengan pengusulan kebijakan baru yang berkaitan dengan peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Tindakan membangun aliansi baru untuk memperluas kekuatan dan kemampuan mereka dalam melindungi kelompoknya; melakukan tindakan-tindakan kolektif seperti melakukan pemogokan atau demonstrasi yang bertujuan untuk memperbaiki syarat hubungan kerja di tempat mereka bekerja; dan berbagai upaya lain yang tidak dapat dirumuskan satu demi satu telah dilakukan oleh keduabelah pihak. Namun demikian, tidak terjadi perbaikan yang signifikan terhadap kondisi hubungan industrial di Indonesia.

Banyak orang yang concern pada masalah ketenagakerjaan di Indonesia akan memikirkan kembali tentang hal apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola hubungan industrial di Indonesia. Kali ini saya berpikir tentang ‘nilai-nilai apa yang sebenarnya merupakan kekayaan kita dan dapat kita gali kembali, untuk menumbuhkan hubungan industrial yang ideal di antara para buruh dan majikannya’. Dari hasil kontemplasi saya, saya menemukan nilai-nilai luhur dalam Hubungan Industrial Pancasila sebagai jawabannya (selanjutnya disebut sebagai HIP).

Mengapa HIP? HIP sudah lama dilupakan. Dalam praktek bahkan konsep ini mungkin sudah lama ditinggalkan. Apakah HIP itu? Konsep ini mengatur hubungan antara para pelaku dalam proses produksi (buruh dan majikannya) yang berlandaskan pada sila-sila dari Pancasila, dasar negara Indonesia. HIP ini sangatlah unik. Hubungan industrial dalam masyarakat sosialis atau liberal cenderung melihat para pihak di dalam hubungan industrial (majikan dan buruh) sebagai pihak yang berhadapan (oposisi). Pihak majikan akan mempekerjakan pekerjanya untuk memperoleh keuntungan perusahaan yang sebesar-besarnya. Untuk menghadapi hal tersebut, pihak pekerja kemudian akan menghimpun kekuatan guna menandingi kekuatan sosial ekonomis majikan dengan menggunakan kekuatan kolektif, misalnya melakukan pemogokan. Inilah yang dimaksud dengan upaya pengimbangan. HIP memiliki pendekatan yang berbeda. Pada saat ditemukannya, nilai-nilai Pancasila ditumbuhkan oleh masyarakat adat Indonesia yang bersifat komunal. Dalam sistem tersebut, sifat kebersamaan dan gotong royong merupakan sendi penting di dalam hubungan industrial tersebut. Dengan demikian, majikan dan buruh bukanlah pihak yang berseberangan, melainkan pihak yang berdampingan dalam upaya mencapai hal yang paling menguntungkan dalam hubungan kerja mereka. Mereka memiliki satu tujuan yang sama (common goal), yaitu mencapai keuntungan. Bagaimana hal ini dapat dicapai, akan dijawab melalui penjabaran hakikat dari HIP di bawah ini.

Mencari jejak Pancasila dalam hubungan industrial di Indonesia
Di bawah ini akan dilakukan apakah semua nilai Pancasila telah diakomodir di dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan industrial. Sila Ketuhanan yang maha esa telah dikonkritkan ke dalam beberapa aturan, yang sifatnya sangatlah khas Indonesia. Peraturan tentang pelarangan melakukan diskriminasi berdasarkan alasan agama, pemberian Tunjangan Hari Raya pada saat buruh merayakan hari besar keagamaan dan hak untuk mendapatkan cuti untuk menjalankan ibadah keagamaan merupakan contoh-contoh dari diterapkannya sila pertama ini di dalam hubungan industrial di Indonesia.

Sila kemanusiaan yang adil dan beradab juga telah menampakkan jejaknya di dalam berbagai peraturan di Indonesia.Sila ini diturunkan ke dalam beberapa asas, antara lain: asas adil dan merata meski masih tidak dapat dikatakan telah sukses dilaksanakan, namun paling tidak penerapannya misalnya dalam menentukan upah minimum masihlah terlihat. Asas peri kehidupan dalam keseimbangan juga merupakan asas yang harus diterapkan misalnya dalam penciptaan hubungan kemitraan antara buruh dan majikan sebagaimana diatur di dalam pasal 103 ayat 3 UU Ketenagakerjaan adalah perwujudan dari asas ini.

Sila persatuan Indonesia juga terlihat dalam pengelolaan pasar kerja di Indonesia, yang informasi lowongan kerja dan pencari kerjanya dikelola secara nasional. Hal ini menggambarkan upaya untuk mempertemukan tenaga kerja yang berasal dari daerah padat angkatan kerja tetapi rendah kesempatan kerjanya dengan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan ketrampilan atau minat dari tenaga kerja tersebut, walau lowongan pekerjaan tersebut terletak di daerah yang berbeda dengan tempat tenaga kerja tersebut berasal. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mengandung nilai yang paling banyak diterapkan di dalam aktivitas berorganisasi dari para buruh. Dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial, prinsip penyelesaiannya adalah melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Mengingat anggota dari serikat buruh jumlahnya banyak, dalam proses perundingan, para anggota serikat pekerja akan diwakili oleh orang-orang yang ditunjuk oleh Serikat Buruh (biasanya pengurus Serikat Buruh).

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan sila yang paling erat berkaitan dengan masalah hubungan industrial. Hal terpenting yang merupakan perlindungan wajib bagi buruh seperti hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh upah yang tidak lebih rendah daripada UMR, hak untuk tidak dieksploitasi baik atas dasar jam kerja maksimal dan jam istirahat minimal dimandatkan oleh sila ini.

Masih banyak hal-hal yang telah dilaksanakan di dalam praktek hubungan industrial di Indonesia yang ternyata dapat dikaitkan dengan atau merupakan turunan dari lima sila Pancasila. Jika diperhatikan dengan teliti, isi dari hal-hal yang diturunkan dari sila-sila Pancasila sebagaimana dicontohkan di atas ternyata tidak terlalu berbeda dengan isi Hukum Perburuhan yang ditemukan di dalam hukum positif dari berbagai negara atau yang ditemukan di dalam konvensi internasional. Jika demikian, di mana kekhasan dari HIP? Cara memahami atau menafsirkan keberadaan peraturan-peraturan tersebut adalah jiwa dari HIP. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, semua peraturan di atas, dalam konteks HIP, diundangkan bukan untuk saling mengoposisi pihak lainnya dalam hubungan kerja. Pihak lain dalam perjanjian kerja harus dipandang sebagai mitra (counterpart) dan bukannya lawan. Sebagai contoh: pengakuan terhadap hak untuk berserikat dari buruh dalam konteks HIP bukanlah dipandang sebagai penciptaan kekuatan bagi buruh untuk menghadapi kekuatan sosial ekonomis dari majikan atau pengusaha, melainkan harus dipandang sebagai wujud dari kebersamaan dari pekerja. Mereka akan dapat secara bergotong royong dengan majikannya menciptakan aturan-aturan yang adil di dalam perjanjian kerja mereka, yang dilakukan melalui forum perundingan Perjanjian Kerja Bersama. Contoh lain, UMR bukanlah dipandang sebagai jaminan agar hak atas upah dari buruh tidak dilanggar oleh majikannya; melainkan dipandang sebagai batas kompensasi yang masih dianggap adil sebagai imbalan dari pekerjaan yang diberikannya kepada majikannya. Dengan memperhatikan jabaran tersebut jelaslah bahwa seharusnya pelaksanaan HIP akan membawa suasana yang ideal dan tenteram di dalam hubungan industrial di Indonesia. Fakta ternyata tidak menunjukkan demikian.

HIP masih tertidur

Banyak masalah perburuhan dewasa ini menunjukkan bahwa HIP masih tidur nyenyak. Apakah penyebab yang menggagalkan terbangunnya HIP? Alasan pertama adalah sikap mental dari para pihak di dalam hubungan industrial. Buruh dan majikan masih menempatkan diri dalam posisi yang berseberangan, dan tidak merasa memiliki kepentingan yang sama. Buruh banyak yang merasa majikannya selalu mengeksploitasi mereka; sementara majikan merasa bahwa buruh banyak yang tidak melaksanakan tugas mereka secara baik. Sementara itu, pemerintah yang harusnya menjadi penengah dari buruh dan majikan sering kali dianggap berpihak kepada majikan. Cara pandang seperti ini benar-benar menempatkan gap yang luas di antara pihak-pihak di dalam hubungan industrial. Buruknya penegakan hukum merupakan alasan kedua. Aparat pemerintah dalam hal ini dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Ketenagakerjaan dan aparat-aparat terkait lainnya masih banyak yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagai bukti yang paling nyata terhadap ini adalah gagalnya pegawai pengawas untuk melakukan kontrol terhadap penerapan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap kewajiban mengikutsertakan pekerja pada Jamsostek, pelanggaran terhadap jam kerja maksimum (40 jam per minggu), pelanggaran terhadap UMR dan pelanggaran-pelanggaran lain masih banyak terjadi karena tidak adanya pengawasan tersebut. Peraturan yang substansinya kurang baik juga masih menjadi salah satu alasan lain yang menunjukkan tertidurnya HIP. Peraturan yang saat ini paling banyak dianggap salah oleh pihak pekerja adalah tentang outsourcing di dalam hukum Indonesia. Peraturan ini dianggap buruk karena perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing masih sangat tidak memadai. Sementara itu, peraturan tentang pemberian pesangon terhadap pekerja yang pada akhirnya diPHK karena beberapa kali melakukan pelanggaran terhadap peraturan di perusahaan juga dianggap oleh majikan sebagai peraturan yang tidak terlalu menguntungkan posisi mereka. Budaya hukum masyarakat yang masih cenderung menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah satu alasan kuat lainnya yang menunjukkan HIP belum mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Masih banyak alasan-alasan lain yang pasti akan dapat kita temukan sebagai petunjuk gagal berfungsinya HIP.

Upaya membangunkan HIP yang sedang tidur

Contoh-contoh di atas menggambarkan HIP masih tidur nyenyak, HIP masih belum mampu memberi warna dan sentuhan bagi hubungan industrial di Indonesia. Sangatlah sayang, bila nilai luhur HIP yang sedang tidur itu dibiarkan terus tidak berfungsi selamanya. Untuk mencari solusi, kita harus memperhatikan peta masalah yang telah digambarkan di atas. Pengubahan sikap mental dan budaya hukum yang masih cenderung menganggap buruh dan majikan adalah pihak-pihak yang berseberangan, tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya pendidikan dan penyadaran bahwa kepada masyarakat bahwa ‘penerapan ‘sistem kemitraan’ bagi buruh dan majikannya akan lebih menguntungkan semua pihak. Bila buruh dan majikan menjadi mitra yang bergotong royong mencari keuntungan bagi perusahaan, dan bila hasil dari keuntungan itu selain dinikmati perusahaan juga dikembalikan kepada buruh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, maka buruh dan majikan akan memiliki kekuatan ekstra untuk mencapai keuntungan perusahaan yang maksimal. Buruknya penegakan hukum harus diselesaikan dengan menggunakan berbagai upaya. Penegakan disiplin dari aparat yang berkaitan dengan ketenagakerjaan (misalnya pegawai pengawas) merupakan salah satu hal krusial. Bukanlah rahasia umum bahwa kinerja aparat tersebut saat ini sangatlah buruk.

Banyak pengusaha yang menyatakan bahwa mereka hampir secara rutin dikunjungi oleh aparat pajak dan aparat ketenagakerjaan, dan mereka harus ‘memberi uang saku’ bila tidak mau masalah di tempat mereka diusik. Sikap koruptif dari pegawai pengawas ketenagakerjaan yang bersedia untuk menerima suap demi mendiamkan masalah di suatu tempat kerja, merupakan salah satu hal terpenting yang menyebabkan gagalnya penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Perlu dilakukan penjatuhan sanksi hukum bagi pegawai pengawas yang terbukti melanggar hukum. Pihak yang berkonspirasi dengan mereka untuk membiarkan terjadinya pelanggaran hukum juga harus terkena sanksi hukum. Bila seorang pengusaha tidak mengikutsertakan buruhnya dalam program Jamsostek; dan dapat dibuktikan bahwa pegawai pengawas sebenarnya mengetahui hal tersebut tetapi membiarkan pelanggaran itu karena mereka telah memperoleh sogokan dari pengusaha tersebut, maka baik pengusaha maupun pegawai pengawas tersebut sama-sama harus dikenai sanksi hukum. Evaluasi terhadap perUndang-Undangan juga merupakan hal yang sangat penting. Hanya peraturan yang isinya tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur dari Pancasila, UUD 1945 atau peraturan lain yang lebih tinggi; dan bila isi peraturan tersebut tidak sesuai rasa keadilan, kesejahteraraan dan ketentraman masyarakat lah yang harus diganti. Peraturan yang sudah sesuai tetap harus dipertahankan. Mengubah peraturan terlalu sering juga tidak terlalu menguntungkan, mengingat hal itu justru juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Kesimpulan

Menggunakan kembali nilai luhur Pancasila dalam hubungan industrial terdengar sangat klise. Apakah benar demikian? Pancasila tidak pernah menjadi nilai yang klise. Pancasila yang menjadi dasar negara kita harus terus disegarkan kembali penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Bila kita tinggalkan Pancasila dan hanya menganggapnya sebagai rangkaian kata indah tanpa daya berlaku, berarti semakin jauhlah bangsa ini meninggalkan dasar negaranya. Sekalipun upaya perbaikan sistem hubungan industrial di Indonesia dengan mengembalikannya pada nilai-nilai Pancasila terlihat seperti langkah panjang yang tidak jelas ujung yang dicapainya, menggugah nilai-nilai luhur itu merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki sistem hubungan industrial di Indonesia. Dalam jangka pendek, perubahan memang sulit ditemukan. Namun dalam jangka panjang, bila isi peraturan, cara penegakan aturan dan budaya hukum masyarakat telah sesuai dengan Pancasila, maka hubungan industrial di Indonesia akan menjadi lebih serasi dan ideal. Mari terus berusaha membangunkan kembali HIP dan sungguh-sungguh menerapkannya di dalam praktek ketenagakerjaan di Indonesia.

http://lbh.unpar.ac.id/artikel/membangunkan-hubungan-industrial-pancasila-yang-sedang-tidur/

Rabu, 10 April 2013

TEORI HUBUNGAN INDUSTRIAL PANCASILA

Hubungan Industrial secara umum dapat diartikan sebagai suatu subyek yang membahas sikap dan perilaku orang-orang di dalam suatu organisasi kerja dan mencari sebab yang menentukan terjadinya perilaku tersebut serta mencairkan jawaban terhadap penyimpangan yang terjadi. Hubungan industrial akan selalu berhubungan erat dengan pancasila karena didalam pancasila menerapkan berbagai asas kemanusiaan. Didalamnya pancasila menyebutkan mengenai asas-asas kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, permusyawatan serta persatuan. Sehingga HI (Hubungan Industrial) akan membutuhkan asas-asas pancasila sebagai barometer sikap dan perilaku orang-orang dalam organisasi kerja.

Indonesia telah memiliki sejarah panjang mengenai hubungan industrial. Walau demikian, hingga saat ini begitu banyak permasalahan di bidang hubungan industrial itu yang masih terjadi dan menimbulkan perpecahan antar para pekerja di satu pihak dan pengusaha di pihak lain. Tanpa adanya perbaikan pola hubungan industrial antar keduanya, maka tidak akan pernah terjadi kesamaan persepsi didalam menyikapi masalah yang terjadi diantara mereka. Oleh karena itu, para pihak di dalam hubungan industrial harus melakukan upaya strategis untuk memperbaiki nasib dan pola hubungan mereka. Jika upaya startegis tidak segera dilakukan tidak jarang para pekerja akan menumpahkan permaslahan tersebut melalui demonstrasi. Tidak jarang dari perpecahan antara pekerja dengan pengusaha banyak dari pekerja yang membentuk serikat buruh untuk menumpahkan segala perasaan tidak wajar yang mereka rasakan terhadap para pengusaha.

Dalam The Enscyclopedia of Social Science, dikenal dengan gerakan buruh yang menjadi suatu bahkan keseluruhan aktivitas para penerima upah untuk memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan mereka. Gerakan buruh dapat bersifat sementara ataupun permanen, yang akhirnya berkembang menjadi serikat buruh atau serikat pekerja.

Banyak sekali tokoh perburuhan didunia diantaranya adalah: Kerr, Dunlop, Herbison, dan Myers yang menyimpulkan bahwa industrialisasi telah menciptakan berbagai macam organisasi kaum buruh, walaupun berbeda dalam fungsi, struktur kepemimpinan dan ideologi.

Industrialisasi menciptakan ketidakseimbangan para pekerja, sehingga tujuan gerakan buruh juga selalu berubah-ubah dari masa ke masa. Untuk itu perlu dikemukakan dan dibahas beberapa teori yang berhubungan dengan gerakan buruh seperti:

1.Teori Revolusi

Teori revolusi muncul dari pergerakan buruh sosialis dan komunis. Menurut pandangan pemuka teori revolusi, sejarah adalah catatan tentang perjuangan kelas. Kelas pekerja diciptakan oleh industrialisasi. Dalam teori ini bersudaha menciptakan suatu dunia tanpa kelas-kelas dalam masyarakat didalam perekonomian bagi semua orang.

2.Teori Demokrasi Industri

Dalam teori ini dimasukan unsur demokrasi dalam hubungan kerja industri. Berdasarkan penelitian Sydney dan Beatrice Webb terhadap serikat buruh diIinggris maka dikemukakan teori Demokrasi Industri. Mereka menyimpulkan bahwa perkembangan serikat buruh dalam hubungan kerja industri sejajar dengan pertumbuhan demokrasi dalam pemerintahan.

Di pihak lain, Sumner Sliehter mengemukakan bahwa melalui serikat pekerja dapat dikembangkan peraturan kerja menjadi suatu sistem: System of Iindustrial Jurisprudence. Sistem ini lebih bersifat melindungi para pekerja daripada sistem hukum yang melindungi warga negara dari tindak kesewenangan pemerintah.

3.Teori Business Unionism

Dalam teori ini lebih mengutamakan pada aspek ekonomis dari pada aspek politisnya. Menurut teori ini karyawa bersedia bergabung menjadi anggota serikat buruh agar dapat diwakili dalam perundingan dan tawar-menawar tentang syarat-syarat kerja. Kondisi kerja, kontrak kerja dan dalam pegawasan hubungan kerja sehari-hari.

Menurut pandangan Samuel Gempers pemimpin pertama American Federation of Lauber, serikat buruh dibentuk untuk meningkatkan upah dan jaminan ekonomis , menurunkan jam kerja, melindungi kesehatan dan mencegah tindakan kesewangan dari para pengusaha.

Sedangkan Strasser dan Jhon Mitchel menyarankan bahwa motivasi mereka bergabung menjadi anggota serikat buruh karena terdorong oleh kebutuhan harian (ekonomis dan non ekonomis).

4.Teori Sosiopsikologis

Menurut teori ini, serikat buruh dianggap sebagai wadah bagi parah buruh agar dapat memenuhi berbagai macam kebuuhan dan keinginan mereka.Cartleoton H. Parker memandang keanggotaan serikat buruh memberikan suatu kesempatan untuk memuaskan segala kebutuhan pada anggota dalam hubungan keeja mereka.

5.Teori Perubahan

Menurut teori ini, tujuan serikat buruh akan selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi kerja dalam perusahaan dan perubahan masyarakat.Selig Perlman menyatakan bahwa gerakan buruh ditentukan oleh beberapa faktor:

*Resistensi pengusaha/kapitalis *Kekuasaan kaum intelektual terhadap gerakan buruh *Kematangan mentalitas serikat buruh

Oleh karena beberapa faktor tersebut maka program serikat buruh akan selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan faktor penentunya.

- TEORI SEHUBUNGAN DENGAN SERIKAT BURUH

Serikat pekerja/ buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/ buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan dan melindungi hak buruh beserta keluarganya.Terkait dengan kehadiran serikat buruh, muncul berbagai teori yang dibangun berdasarkan beberapa pandangan. Teori tersebut diantaranya:

a.Teori Kemakmuran Umum

Disini tuntutan jaminan sosial dan kesehatan oleh serikat buruh dianggap sebagai suatu tuntutan yang akan memberi manfaat bagi mereka yang berada diluar serikat buruh.

b.Teori Labour Marketing

Dalam teori ini keseimbangan tenaga kerja dianggap sangat penting karena kondisi dalam tempat kerja mereka ditenukan oleh kekuatan pasar dengan tenaga kerja.

c.Teori Prodktivitas

Dimana upah akan di ukur melalui produktivitas karyawam dalam bekerja. Maka yang semakin produktiv upah yang diterima akan relatif tinggi.

d.Teori Bargainning

Dalam teori ini menyatakan bahwa baik pekerja maupun pengusaha memasuki pasar tenaga kerja tanpa harga penawaran/ permintaan yang pasti. Dimana tingkat upah disesuaikan dengan kekuatan bargainning diantara ke2 pihak.

e.Oposisi Loyal Terhadap Manajemen Dalam teori ini tidak menyaratkan serikat buruh menjadi manajer atau serikat buruh membantu majikan dalam tugas mereka sebagai manajer, akan tetapi dalam teori ini menganjurkan serikat buruh menolak tanggung jawab atas manajemen.
- PERKEMBANGAN TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG SERIKAT BURUH

Kehadiran serikat buruh dimaksudkan untuk menciptakan dan mempertahankan serikat buruh yang berwenang dan kuat serta dapat mewakili anggotanya dan melaksanakan persetujuan yang telah dicapai dengan pihak terkait. Untuk dapat melakukan tindakan tegas mengenai hak dan kewajiban anggotanya.

Melihat perkembangan teori perburuhan maka ada beberapa cara yang ditempuh oleh serikat buruh dalam meraih pengakuan dari majikannya. Diantaranya adalah dengan melakukan protes secara terorganisir. Selain itu serikat buruh juga melakukan kontrol disiplin di internal mereka.

Perkembangan tanggung jawab dan wewenang buruh bila dilihat secara teotitis terbagi atas tiga yakni union security, sarana serika buruh menghadapi majikan dan internal control and diciplene.

i.Union Security - Anti Union Shop

Serikat buruh tidak diakui dan perusahaan menolak memberi kerja kepada anggita serikat buruh.

- Open Shop

jika majikan masih tidak menganggap buruh maka majikan langsung berdapan dengan buruh.

- Exclusive Bargainning Agent

Serikat buruh sebagai satu-satunya wakil buruh.

- Preferential shop

Majikan memberi prioritas kepada buruh sebagai anggota serikat kerja.

- Maintenance of Membership

Semua anggota menjadi serikat buruh selama masa persetujuan.

- Agency Shop

Semua karyawan harus membayar iuran kepada serikat buruh.

- Union Shop

Semua karyawan harus menjadi anggota serikat buruh.

- Closed Shop

Hanya anggota serikat buruh yang dapat diterima sebagai karyawan.

- Check Off

Majikan memotong upah buruh untuk disetorkan dalam kas serikat buruh sebagai iuran.

ii. Sarana Serikat Buruh Menghadapi Majikan -Pemogokan a)Economic strike

Tindakan permogokan yang dipicu oleh keinginan kenaikan upah kerja.

b)Unfair Labour Practice Strike

Tindakan yang dilakukan sebagai protes dari sebuah tindakan kesewenang-wenangan perusahan.

c)Smphathetics Strikes

Tindakan permogokan yang dilakukan karena dipicu oleh anggota atau buruh lain.

d)General Strike

Tindakan yang melibatkan seluruh wilayah tertentu.

e)Outlaw Strike

Tindakan permogokan yang dilakukan tanpa persetujuan dari pihak buruh.

f)Flash Strike of Quickie

Tindakan permogokan yang didorong oleh anggota lain.

g)Sit Down Strike

Tindakan permogokan tanpa meninggalkan tempat kerja, sehingga mereka tetap menguasai fasilitas produksi.

h)Slow Strike

Memperlambat pekerjaan untuk mengurang efektifitas produksi.

- Pemagaran

Tindakan yang dilakukan didepan pintu perusahaan untuk memberi tahu publik atau khalayak umum bahwa sedang terjadi ketegangan antara pihak perusahaan dengan buruh.

- Boikot

Tindakan protes dengan memboikot produk dari perusahaan. Boikot ada yang bersifat primer dan ada juga yang sekunder. Dikatakan primer apabila pemboikotan dilakukan karena perusahaan tidak memenuhi kebutuhan serikat buruh. Dikatakan sekunder apabila melibatkan pihak ketiga. Contohnya pihak pemborong atau masyarakat umum.

iii.Internal Control and Diciplane

Dalam kaitannya dengan penyelengaraan hubungan industrial, serikat buruh memberika kekuasaan kepada para pengurus serikat untuk bertindak terhadap anggotanya yang menentang pemimpin atau menolak untuk taat pada aturan yang disertakan dalam perjanjian kerja.

Daftar Pustaka
Suprihanto Jhon, Hubungan Industrial, BPFE, Yogyakarta, 2002
Sumber dari Internet
LBH dan HAM UNPAR
www.unpar.ac.id
http://www.scribd.com/doc/24333108/PENGERTIAN-BURUH
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/hub.industrial_pancasila.pdf

Jumat, 01 Februari 2013

MANAJEMEN RISIKO

~ KONSEP-KONSEP YANG BERHUBUNGAN DENGAN RISIKO ~ Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang berbeda-beda yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi dan politik. Di sisi lain pelaksanaan manajemen risiko melibatkan segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko (manusia, staff, dan organisasi). Didalam manajemen risiko dikenal beberapa konsep yang berhubungan dengan risiko itu sendiri diantaranya adalah: 1. Risk is the change of loss, risiko diartikan sebagai kemungkinan akan terjadinya kerugian. 2. Risk is the possibility of loss, risiko adalah kemungkinan kerugian. 3. Risk is Uncertainty, risiko adalah ketidakpastian. 4. Risk is the dispersion of actual from expected result, risiko merupakan penye-baran hasil actual dari hasil yang diharapkan. 5. Risk is the probability of any outcome different from the one expected, risiko adalah probabilitas atas sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang diharapkan. Dari beberapa definisi diatas, maka risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak diinginkan atau tidak terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Dan jika dikaji lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu timbul karena berbagai sebab, antara lain; jarak waktu dimulai perencanaan, keterbatasan informasi yang diperlukan, keterbatasan pengetahuan pengambil keputusan dan sebagainya. Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan instrumen-instrumen keuangan. Menurut Smith, 1990 Manajemen Resiko didefinisikan sebagai proses identifikasi, pengukuran, dan kontrol keuangan dari sebuah resiko yang mengancam aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan atau proyek yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian pada perusahaan tersebut. Menurut Clough and Sears, 1994, Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian. Menurut William, et.al.,1995,p.27 Manajemen risiko juga merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi. Dorfman, 1998, p. 9 Manajemen risiko dikatakan sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur terhadap suatu kerugian. Jadi dapat disimpulkan bahwa Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk: penilaian resiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Konsep lain yang berkaitan dengan risiko adalah Peril, yaitu suatu peristiwa yang dapat menimbulkan terjadinya suatu kerugian, dan Hazard, yaitu keadaan dan kondisi yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu peril. Hazard terdiri dari beberapa tipe, yaitu: 1. Physical Hazard, suatu kondisi yang bersumber pada karakteristik secara fisik dari obyek yang dapat memperbesar terjadinya kerugian. 2. Moral Hazard, suatu kondisi yang bersumber dari orang yang berkaitan dengan sikap mental, pandangan hidup dan kebiasaan yang dapat memperbesar kemungkinan terjadinya peril. 3. Morale Hazard, suatu kondisi dari orang yang merasa sudah memperoleh jaminan dan menimbulkan kecerobohan sehingga memungkinkan timbulnya peril. 4. Legal Hazard, suatu kondisi pengabaian atas peraturan atau perundang-undangan yang bertujuan melindungi masyarakat sehinga memperbesar ter-jadinya peril. ~ RISIKO SPEKULATIF DAN RISIKO MURNI ~ Kejadian sesungguhnya terkadang menyimpang dari perkiraan. Artinya ada kemungkinan penyimpangan yang menguntungkan maupun merugikan. Jika kedua kemungkinan itu ada, maka dikatakan risiko itu bersifat spekulatif. Sebaliknya, lawan dari risiko spekulatif adalah risiko murni, yaitu hanya ada kemungkinan kerugian dan tidak mempunyai kemungkinan keuntungan. Manajer risiko utamanya menangani risiko murni dan tidak menangani risiko spekulatif kecuali jika adanya risiko spekulatif memaksanya untuk menghadapi risiko murni tersebut. Risiko Spekulatif yang kadang-kadang dikenal pula dengan istilah risiko bisnis(business risk)/ speculative risk adalah suatu keadaan dimana jika sesorang menginvestasikan dananya disuatu tempat akan menghadapi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama investasinya menguntungkan atau malah investasinya merugikan. Risiko yang dihadapi seperti ini adalah risiko spekulatif.Semua risiko spekulatif diambil sebagai pilihan sadar dan tidaknya hanya diakibatkan oleh situasi yang tidak terkontrol. Contoh resiko spekulatif diantaranya adalah: a. Risiko Perubahan Harga Harga pasar suatu produk, jasa, atau komoditi dapat berubah-ubah. Ini dapat naik maupun turun. Terkait dengan perubahan harga input, jika harga input naik, maka perusahaan dapat mengalami kerugian penurunan marjin keuntungan. Sebaliknya, jika harga input turun, maka perusahaan dapat mengalami keuntungan, yaitu berupa kenaikan marjin keuntungan. Terkait dengan harga output, jika harga output naik, maka perusahaan akan mengalami keuntungan karena naiknya marjin keuntungan. Sementara, jika harga output turun, maka perusahaan akan mengalami kerugian, yaitu berupa penurunan marjin keuntungan. b. Resiko Kredit Resiko kredit adalah resiko yang muncul dari transaksi kredit, seperti utang dagang. Jika pihak yang kita berikan kredit mengalami gagal bayar, maka kita akan mengalami kerugian. Sedangkan Risiko Murni adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu contoh adalah kebakaran, apabila perusahaan menderita kebakaran,maka perusahaan tersebut akan menderita kerugian. kemungkinan yang lain adalah tidak terjadi kebakaran. Dengan demikian kebakaran hanya menimbulkan kerugian, bukan menimbulkan keuntungan, kecuali ada kesengajaan untuk membakar dengan maksud-maksud tertentu. Risiko murni adalah sesuatu yang hanya dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu cara menghindarkan risiko murni adalah dengan asuransi. Dengan demikian besarnya kerugian dapat diminimalkan. itu sebabnya risiko murni kadang dikenal dengan istilah risiko yang dapat diasuransikan ( insurable risk ). Beberapa bentuk resiko murni yang sering muncul diantaranya adalah: a. Resiko hilang/rusaknya aset yang dimiliki yang diakibatkan kebakaran, pencurian, penggelapan, dan sebagainya. b. Kecelakaan kerja pada proses produksi. c. Resiko akibat tuntutan hukum pihak lain, misalnya keracunan dari makanan yang Anda jual, tuntutan konsumen akibat kelalaian kita, dan sebagainya. d. Resiko operasional lainnya. e. Bencana alam (force majeure), seperti banjir, gempa, angin topan, dan sebagainya. Dari kedua kategori risiko diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan utama antara risiko spekulatif dengan risiko murni adalah kemungkinan untung ada atau tidak, untuk risiko spekulatif masih terdapat kemungkinan untung sedangkan untuk risiko murni tidak dapat kemungkinan untung. ~ SUMBER RISIKO ~ Terdapat beberapa sumber risiko yang bisa mempengaruhi besarnya risiko suatu investasi, diantaranya adalah : 1. Risiko suku bunga Perubahan suku bunga bisa mempengaruhi variabilitas return suatu investasi. Perubahan suku bunga akan mempengaruhi harga saham secara terbalik, yang berarti jika suku bunga meningkat, maka harga saham akan turun. Demikian pula sebaliknya, apabila suku bunga menurun, maka harga saham akan meningkat. 2. Risiko pasar Yang dimaksud risiko pasar adalah fluktuasi pasar yang secara keseluruhan mempengaruhi variabilitas return suatu investasi. Perubahan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti munculnya resesi ekonomi, kerusuhan, maupun perubahan politik. 3. Risiko inflasi Inflasi yang meningkat akan mengurangi kekuatan daya beli rupiah yang telah diinvestasikan. Maka dari itu, risiko ini juga bisa disebut sebagai risiko daya beli. 4. Risiko bisnis Risiko bisnis merupakan risiko yang terdapat dalam menjalankan bisnis suatu jenis industri. Misalnya perusahaan pakaian jadi yang bergerak di bidang industri tekstil, akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik industri tekstil itu sendiri. 5. Risiko finansial Risiko ini berkaitan dengan keputusan perusahaan untuk menggunakan hutang dalam pembiayaan modalnya. Semakin besar hutang yang digunakan, maka semakin besar pula risiko yang akan ditanggung. 6. Risiko likuiditas Risiko ini berkaitan dengan kecepatan suatu sekuritas yang diterbitkan perusahaan bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Semakin cepat suatu sekuritas diperdagangkan, maka semakin likuid sekuritas tersebut. Dan demikian pula sebaliknya. 7. Risiko nilai tukar mata uang (valas) Risiko ini berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang domestik dengan nilai mata uang negara lainnya. Risiko ini juga dikenal dengan nama currency risk atau exchange rate risk. 8. Risiko negara Risiko ini juga disebut sebagai risiko politik, karena sangat berkaitan dengan kondisi perpolitikan suatu negara. Bagi perusahaan yang beroperasi di luar negeri, maka stabilitas ekonomi dan politik negara bersangkutan akan sangat perlu diperhatikan guna menghindari risiko negara yang terlalu tinggi. ~ JENIS-JENIS RISIKO ~ Selain risiko di atas tersebut, dalam manajemen investasi dikenal pembagian risiko dalam dua jenis, yaitu risiko sistematis dan risiko unsistematis. Risiko sistematis merupakan risiko yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di pasar secara keseluruhan. Sedangkan risiko unsistematis merupakan risiko yang tidak berkaitan dengan perubahan pasar secara keseluruhan. ~ BIAYA-BIAYA YANG DITIMBULKAN KARENA MENANGGUNG RISIKO ~ Jika didalam suatu investasi terdapat kemungkinan terjadinya risiko maka dari risiko itupun akan timbul biaya-biaya untuk menanggung risiko tersebut. biaya-biaya untuk menanggung risiko tersebut diantaranya adalah: 1. Biaya-biaya dari kerugian yang tidak diharapkan. 2. Biaya-biaya dari ketidakpastian itu sendiri.